Kumpulan Informasi Hukum

Pluralitas Hukum Perdata di Indonesia

Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai pluralitas hukum perdata di Indonesia.


Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia beraneka ragam (pluralitas), artinya hukum perdata yang berlaku ini terdiri dari berbagai jenis ketentuan hukum; yang di mana setiap penduduk mempunyai sistem hukumnya masing-masing, seperti halnya Hukum Adat, HUkum Perdata Barat, Hukum Islam dan sebagainya. Pluralisme Hukum tersebut sudah ada sejak Zaman Hindia Belanda. Terdapat 3 (tiga) penyebab timbulnya pluralisme di dalam hukum perdata yaitu : (1) politik pemerintahan hindia belanda; (2) belum terdapatnya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional; dan (3) faktor etnisitas.

1. Politik Pemerintah Hindia Belanda

Pemerintah Hindia Belanda membagi golongan pendududk di daerah jajahannya ini menjadi 3 (tiga) golongan, antara lain yaitu : (a) Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya; (b) Golongan Timur Asing yang terdiri atas Timur Asing Golongan Tionghoa dan Bukan Tionghoa seperti, India, Arab dan lain-lain; dan (c) Golongan Bumi Putera, yaitu orang Indonesi Asli yang terdiri dari semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.

Berdasarkan pada Pasal 163 Indischestaats Regeling (IS) dan Pasal 131 IS yang membedakan berlakunya Hukum Perdata bagi ketiga golongan tersebut, yaitu : Pertama, bagi golongan Eropa di Hindia Belanda, yaitu berdasarkan pada Pasal 131 IS angka (2) sub. (a) berlaku seluruh Hukum Perdata Eropa (BW dan WvK) dan berlaku sejak 1 Mei 1848 sebagaimana tercantum di dalam Stb. 1848 dan Stb. 1917.

Kedua, bagi Golongan Timur Asing terdapat perbedaannya : (1) bagi Golongan Timur Asing Tionghoa semenjak tahun 1917 dengan Stb. 1917 - 129 jo. Stb. 1924 - 557 diperlakukan seluruh Hukum Perdata Eropa (BW dan WvK) dengan pengecualian mengenai tata cara perkawinan dan hal mencegah perkawinan; (2) bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, berdasarkan pada Stb. 1855 - 79 jo. Stb. 1924 - 557 diperlakukan sebagai dari BW dan WvK (hukum harta kekayaan dan hukum waris dengan statemennya) untuk lainnya berlaku hukum perdata adat tersebut yang meliputi hukum keluarga dan hukum waris tanpa surat wasiat).

Ketiga, bagi Golongan Bumi Putera, yaitu berlaku hukum adat yang telah diresap dari hukum islam (vide Pasal 131 IS angka (2) sub. (b) juncto Pasal 131 IS angka (6)).


2. Belum Adanya Ketentuan Hukum Perdata Yang Berlaku Secara Nasional

Hukum Perdata yang berlaku saat ini pada dasarnya merupakan produk pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada asas konkordansi, yaitu bahwa hukum yang berlaku di Indonesia sama dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di negara Belanda. Yang menjadi dasar hukum berlakunya KUH Perdata di Indonesia yaitu pada Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 dan masih dibutuhkan. Keberlakuan ketentuan tersebut hanya untuk mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum) pada bidang hukum keperdataan.

Para ahli hukum Indonesia ini tidak pernah mempersoalkan secara mendalam mengenai mengapa BW masih berlaku hingga saat ini. Menurut Sudikno Mertokusumo, Tata Hukum Indonesia harus tidak dilihat sebagai kelanjutan dari tata hukum Hindia Belanda, akan tetapi sebagai tata hukum nasional. Dengan demikan, BW sekarang ini berlaku bagi bangsa Indonesia sepanjang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila dan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu Ketentuan Hukum (UU) yang mengatur mengenai Hukum Perdata secara khusus di Indonesia beluam ada, oleh karena itu yang menjadi dasar Hukum Perdata yaitu KUH Perdata, dan peraturan-peraturan lainnya yang bersifat sektoral. Selain itu Hukum Perdata yang berlaku juga menjadi beranekaragam.


3. Faktor Etnisitas

Dari segi etnisitas, suku bangsa yang hidup dan berkembang di wilayah Indonesia banyak sekali jumlahnya. Masing-masing dari suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat dan hukum adat yang beranekaragam. Dalam ini Ter Har mengatakan bahwa "jika orang meneropong suku bangsa Indonesia yang manapun, maka akan tampaklah deritanya dilapiskan bagian bawah yang sangat luasnya, suatu masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok yang bertalian satu sama lain; terhadap alam yang tidak kelihatan mata, juga terhadap dunia luar dan terhadap alam kebendaan, maka mereka ini akan bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga akan mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai kelompok-kelompok tadi ini dapat disebut sebagai masyarakat-masyarakat hukum (rechtgumenschorppen)".

Apa yang dikemukakan oleh Ter Har ini cukup beralasan, hal ini mengingat bahwa pada setiap suku bangsa ini berlaku ketentuan hukum (hukum adat) yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Dengan demikian, etnisitas tersebut dapat menentukan Pluralitas Hukum Perdata Adat.

Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai pluralitas hukum perdata di Indonesia, semoga tulisan tabir hukum mengenai pluralitas hukum perdata di Indonesia dapat bermanfaat.

Sumber : Tulisan Tabir Hukum :

- Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Hukum Perdata. Yang Menerbitkan Prestasi Pustaka : Jakarta.
Gambar Artikel Pluralitas Hukum Perdata di Indonesia
Gambar Artikel Pluralitas Hukum Perdata di Indonesia